KEKAYAAN bukanlah sesuatu yang tercela, islam sendiri tidak melarang kekayaan. Bahkan menjadi terpuji jika kekayaan itu dimanfaatkan di jalan Allah, seperti untuk berinfak, bersedekah, zakat, dan untuk kepentingan dakwah islamiyah. Meski memiliki harta kekayaan bukanlah sesuatu yang buruk, namun kekayaan juga bisa menjadi fitnah yang menakutkan. Bahkan tidak sedikit manusia yang terlalu memuja kekayaan hingga akhirnya membuatnya lalai dari mengingat Allah, Tuhan yang telah memberikannya nikmat kekayaan tersebut.
Kekayaan materi bukanlah segalanya. Adakalanya seseorang memiliki kekayaan berlimpah, akan tetapi hatinya miskin. Oleh karena itu, dalam salah satu sabdanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa kekayaan itu tidak diukur dari banyaknya harta, tetapi yang disebut kaya adalah kaya hati.
UMUR manusia adalah perkara ghaib dan merupakan rahasia Allah SWT. Tak seorangpun tahu berapa panjang usia yang dijatahkan untuknya. Meski Umur termasuk perkara ghaib, beberapa ulama besar Islam telah mencoba membahasnya. Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, misalnya, mengkaji masalah umur melalui karyanya, “Sabilul’Iddikar wal I’tibar bima Yamurru bil-Insan wa Yanqadhi lahu minal-A’mar”(Jalan Menuju Peringatan dan Perenungan tentang Tahapan Usia yang Dilalui Manusia). Ia membagi umur dalam lima tahapan, yaitu diantaranya:
1. sejak Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dan membekalinya dengan keturunan
2. terhitung sejak seorang manusia terlahir dari rahim ibunya hingga ajal menjemput.
3. dimulai sejak kebangkitan manusia dari alam dunia melalui kematian sampai bertiupnya sangkakala Malaikat Israfil di Padang Mahsyar. Umur ketiga adalah masa penantian seseorang di alam barzakh.
4. berlangsung sejak seorang manusia dibangkitkan dari alam barzakh, bersamaan dengan ditiupnya sangkakala yang kedua hingga manusia melangkah di atas shirath al-mustaqim.
5. dimulai sejak seseorang memasuki pintu surga, atau terjatuh di jurang neraka.
KETENARAN bisa membuat orang sombong dan tidak ikhlas dalam beramal. Nabi SAW memerintahkan kita untuk menjauhi ketenaran dan pujian-pujian karena pujian itu fitnah. Beliau bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ
“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih.” (HR. Ahmad no. 16460, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2674)
Abu Ayyub as-Sikhtiyani mengatakan: “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Ta’thiru al-Anfas, hlm. 276)
Dari al-Husain bin al-Hasan al-Marwazi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah ibnu Mubarok pernah berkata: “Jadilah orang yang menyukai status khumul (status tersembunyi dan tidak dikenal) dan membenci popularitas. Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan karena cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu.” (Shifatu ash-Shafwah, 2/325)