Hamki namanya. Seorang pemuda dari kampung yang memiliki impian tinggi. Dia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Bapaknya bekerja sebagai pengrajinyang penghasilannya tak tentu. Sementara ibunya fokus sebagai ibu rumah tangga.
Pertama kali ke rumahnya saya sempat trenyuh. Rumah yang beralas tanah, berdinding anyaman rotan, dan berlokasi pelosok kampung. Lumayan susah menemukan rumahnya, karena tidak berada di jalan utama kampung.
Saat diterima di perguruan tinggi, dia sempat bimbang. Tetap melanjutkan perjuangan untuk kuliah, atau memutuskan untuk bekerja. Karena dialah yang diharapkan jadi tulang punggung keluarga.
Tetapi alhamdulillah, saat itu saya beserta beberapa sahabat yang tergabung di sebuah organisasi mahasiswa Islam bisa meyakinkan untuk kuliah sambil bekerja.
Bulan demi bulan ia jalani perkuliahan, alhamdulillah tak ada hambatan yang berarti. Setahun, dua tahun, alhamdulillah, kehidupan kuliahnya masih lancar. Bahkan ia sangat aktif di berbagai organisasi kampus. Puncak prestasi keorganisasiannya, ia terpilih sebagai ketua umum sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus. Sebuah prestasi yang luar biasa.
Namun memasuki tahun ketiga kuliahnya, saya mendengar kabar kuliahnya agak berantakan karena padatnya aktivitasnya sebagai pengurus inti di berbagai organisasi. Karier organisasinya bagus, tapi dia kesulitan untuk membagi waktu dengan kuliahnya. Akhirnya nilai-nilai kuliahnya jeblok.
Pada tahun keempat kuliahnya, sebuah ujian berat menimpanya. Ibunya terindikasi mengidap kanker rahim. Tentu saja dia sangat syok mendengar vonis dokter yang mengatakan bahwa kanker sang ibu telah memasuki stadium tiga. Bahkan pihak rumah sakit pada akhirnya angkat tangan. Merasa tak sanggup lagi berbuat apa-apa. Kanker sudah terlajur menjalar ke banyak organ.
Dan beberapa saat yang lalu saya mendengar kabar bahwa ibunya telah meninggal. Tanpa pikir panjang saya segera meluncur kerumahnya. Setelah menempuh perjalanan tiga jam, ternyata jenazah ibunya sudah dimakamkan. Rumahnya sudak agak sepi pelayat. Saya pun menemui Hamki yang masih dalam keadaan kalut. Dia menyambut kedatangan saya sementara matanya masih sembab.
“Mas,” katanya sambil sesungukan. “Yang bikin saya tak rela, ternyata Ibu sudah lama memeriksakan sakitnya ke dokter dan beliau sudah tahu sedang mengidap kanker. Tapi itu nggak diceritain ke saya. Ibu takut bikin saya nggak fokus untuk kuliah.”
Setelah beberapa jam menemaninya, saya pun pamit. Saat pamit saya bertanyapadanya, “Kapan rencana balik ke kampus?”
Jawabannya mengejutkan, “Sepertinya saya nggak balik, Mas.”
Saya kaget, “Lho, kenapa?”
“Saat ini saya tinggal punya satu orangtua Mas. Tinggal Bapak saya saja. Apa tega saya meninggalkanya di rumah sendirian? Saya ingin kerja saja dan menemaninya di hari tuanya.”
Saya menyadari betul bagaimana perasaannya. Ibunya yang selama ini menjadi motivasinya, yang selama ini mendorongnya untuk terus mengejar mimpinya, kini telah tiada. Harapannya ingin membahagiakan ibunya dengam menjadi sarjana, kini telah pupus seiring dengan kepergian sang ibu.
***
Motivasi. Itulah yang harusnya dibentuk dan dipupuk dalam jiwa manusia yang mengharap keberhasilan dalam hidupnya. Jika motivasinya fana’ (sementara) maka dorongan menuju kesuksesan pun akan lemah, karena bergantukng pada sesuatu yang fana’. Uang, rumah megah, mobil mewah, nama besar, keluarga, adalah beberapa contoh sumber motivasi yang fana’.
Jika kita menggantungkan semangat hidup kita pada semua itu, tanpa punya pegangan yang lebih abadi, maka yakinlah, suatu saat semangat hidup kita pasti akan musnah seiring dengan musnahnya sumber motivasi yang mementara itu.
Maka carilah mitivasi yang jauh lebih kuat, lebih hebat, lebih tinggi, lebih abadi. Tiada yang lain kecuali Allah. Mulai kini benahi niat kita. Kita sekolah, kuliah, bekerja, atau berwirausaha, niatkan semuanya sebagai jalan pengabdian kepada Sang Pencipta.
Dengan itu insyal Allah semangat hidup kita akan lebih bertahan meski masalah dalam hidup datang bertubu. Kita masih bisa dengan senyum berkata, “Oh Allah, asal engkau cinta padaku, dunia seisinya tak bisa merebut kebahagiaanku.”
Sumber : Buku “don’t cry! Allah Loves You” karya “Ahmad Rifa’i Rif’an”